Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘my religion : Islam’ Category

Diriwayatkan dalam sahih Bukhari dengan sanadnya, dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Az Zubair dari Aisyah, ummul mukminin menceritakan hadits tentang pemulaan turunnya wahyu, yaitu ketika Malaikat Jibril turun menemui Muhammad di gua Hira’ dan memintanya membaca ” iqra’ ” tiga kali.

Tiga kali juga Muhammad saw. menjawab“Maa ana biqari’ “, menegaskan bahwa beliau tidak bisa membaca. Kata “maa” merupakan penafian atau pengingkaran bahwa memang beliau tidak sanggup membaca sama sekali. Kemudian Jibril mendekapnya dengan kuat. Peristiwa tiba-tiba itu membuat Muhammad saw. takut dan khawatir terhadap dirinya.

Muhammad saw. segera pulang menemui Khadijah binti Khuwailid ra seraya berkata, “Selimuti aku, selimuti aku.” Dengan sigap Khadijah menyelimutinya, perlahan rasa takut mulai menghilang. Setelah merasa tenang, Muhammad saw. menceritakan kejadian yang dialaminya. “Sungguh saya takut terhadap diriku.” pungkas Muhammad saw.

“فقالت خديجة: كلا والله ما يخزيك الله أبدا إنك لتصل الرحم ، وتحمل الكل، وتُكسب المعدوم، وتُقرى الضيف، وتُعين على نوائب الحق”

Dengan sigap dan mantap Khadijah menjawab, “Tidak, sekali-kali tidak, Demi Allah, Allah tidak akan menghinakan engkau selamanya, karena engkau penyambung silaturahim, membantu yang memerlukan, meringankan orang yang tidak berpunya, memulyakan tamu dan menolong untuk kebenaran.”

****

Yang menarik untuk disebut dari periwayatan ini adalah, bahwa Aisyah istri Rasulullah saw. sangat cemburu dengan Khadijah , namun demikian, Aisyah secara amanah meriwayatkan kisah ini apa adanya, tidak dikurangi sedikit pun. Subhanallah!

(فدخل على خديجة بنت خويلد)

“Maka Muhammad segera pulang menemui Khadijah di rumahnya”, mengisyaratkan bahwa Muhammad saw. “betah” berkeluarga dengan Khadijah, bahkan beliau mengkhususkan curhat kepadanya atas kejadian yang dialaminya. Padahal Khadijah ra tidak sendirian di rumahnya, Khadijah bersama anak-anaknya -bukan anak Muhammad dari hasil pernikahan dengan Khadijah-.

Seandainya Muhammad saw. tidak “betah” di rumah Khadijah, pasti beliau tidak akan pulang ke rumah Khadijah di saat dirinya dihantui ketakutan seperti itu.

Muhammad saw. minta diselimuti, ketika rasa takut dalam dirinya lenyap dan rasa khawatir yang menyelimuti jiwanya hilang, Muhammad saw. baru menceritakan apa yang terjadi.

****

Rasa takut yang demikian hebat mampu menghalangi berpikir jernih dan menghambat berinisiatif secara cepat dan tepat.

(فلما ذهب عن إبراهيم الروع وجاءته البشرى يجادلنا في قوم لوط(

“Maka tatkala rasa takut hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, diapun bersoal jawab dengan (malaikat-malaikat) kami tentang kaum Luth.” Huud:74

(فزملوه حتى ذهب عنه الروع)

Penggunaan huruf ” fa’ ” dalam potongan hadits di atas menunjukkan kesigapan seorang istri, “Maka Khadijah langsung menyelimutinya, sehingga hilanglah rasa takut darinya.”

Muhammad saw. terkenal sebagai seorang yang selalu menjaga kehormatan dan kepribadian dirinya, sehingga tidak mungkin beliau meminta diselimuti, kalau bukan karena kondisi yang menimpa dirinya sedemikian hebat.

Namun, rasa takut dan khawatir yang dialami Muhammad saw. adalah hal yang wajar, sebagaimana nabi-nabi sebelumnya juga demikian,

“Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: “Jangan kamu takut, Sesungguhnya kami adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Luth.” Huud:70

“Maka Musa merasa takut dalam hatinya.” Thaaha:67

“(Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak). Adz Dzariat:28

Muhammad menceritakan kejadian yang dialaminya setelah beliau benar-benar merasakan ketenangan. Muhammad memilih Khadijah sebagai tempat curhat beliau. Kenapa? Karena Khadijah orang yang paling tahu tentang dirinya, orang yang paling dekat dengannya, Khadijah tahu, bahwa apa yang diceritakan suaminya adalah benar.

Sekaligus Muhammad saw. juga paham bahwa istrinya mampu memberi jalan keluar dari peristiwa yang hadapinya.

Khadijah seorang yang cerdas, mengetahu solusi jitu atas apa yang dialami suaminya, termasuk perihal yang belum pernah terjadi sekalipun.****

Permulaan turunnya wahyu merupakan tahapan baru bagi kehidupan Muhammad saw. turunnya wahyu dengan tiba-tiba menjadikan diri beliau berubah statusnya. Turunya permulaan wahyu ini sebagai deklarasi tersambungnya kembali antara langit (risalah Ilahiyah) dengan bumi (tugas penyampaian dan sikap optimisme hidup).

Tersambungnya kembali jalinan langit dan bumi, setelah sebelumnya terputus beberapa abad. Inilah proses penguatan jiwa Muhammad saw. sebagai seorang manusia untuk menerima risalah Ilahiyah.

Karena itu, Muhammad saw. berkata, “Saya takut terhadap diriku sendiri” rasa takut terhadap apa yang ia lihat dan di dengar itu bagian dari tipu daya jin atau dukun, sebagaimana yang dipaparkan dalam buku-buku sirah tentang ketakutan Muhammad saw. terhadap dirinya.

Khadijah menjawab dengan mantap, karena dilatar belakangi pengenalan panjangnya terhadap pribadi Muhammad saw. sejak menjadi pedagang.

Pengenalan panjang Khadijah sebelum menikah dengan Muhammad, yaitu informasi di dapat dari pembantunya yang bernama Maisaroh -seorang laki-laki- yang menemani Muhammad saw. berdagang ke Syam, di mana Maisaroh melihat awan dengan mata kepala sendiri berjalan menaungi Muhammad saw. di suasana terik matahari. Dalam riwayat lain dua malaikat menaungi Muhammad saw. kemana saja ia berjalan dari terik matahari.

Atau berteduhnya Muhammad saw. di bawah sebuah pohon. Seorang Rahib yang melihat kejadian itu berkomentar, “Tidak ada orang yang berteduh di pohon ini kecuali ia adalah seorang nabi, sebagaimana diterangkan dalam kitab asli kami.” Dan ketika diceritakan ciri-ciri Muhammad, maka itu persis tertulis dalam kitab mereka.

Kisah ini ditulis di banyak buku sirah, seperti sirah Ibnu Ishaq, sirah Ibnu Hisyam, sirah As Suyuthi, sirah As Suhaili dan lain-lain.

Makanya, ketika Khadijah menjawab dengan mantap, “Tidak, sekali-kali tidak” adalah berdasarkan data-data panjang yang ia ketahui sebelumnya. Jawaban yang juga tidak diduga Muhammad saw. sendiri. Jawaban tegas, memancar dari aliran cintanya kepada suaminya. Kenapa tidak? Karena Khadijah yakin bahwa beliau adalah utusan Allah swt. untuk umat ini.

Khadijah segera mencarikan informasi kepada tokoh agama, Waraqah bin Naufal, atau kepada pendeta Buhaira tentang kejadian yang dialami Muhammad saw. Keduanya berkomentar, bahwa Muhammad seorang nabi akhir zaman untuk umat ini.

****

Proses nikahnya Khadijah dengan Muhammad pun unik, dimana Khadijah meminta salah seorang wanita Quraisy untuk mempengaruhi Muhammad dengan menceritakan keistimewaan dan kelebihan Khadijah. Di akhir lobi, wanita itu menawarkan kepada Muhammad, bahwa Khadijah layak menjadi Istrinya, dan Muhammad cocok menjadi suaminya.

Dengan ditemani pamannya, Abu Thalib dan paman-paman yang lain, Muhammad saw. melamar Khadijah. Sejarah sirah mencatat, bahwa Khadijah ketika itu sebagai seorang pebisnis ulung yang sangat kaya raya.

****

Kisah lain yang menguatkan bahwa Muhammad saw. seorang Rasul adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Baihaqi dari Ibnu Ishaq, bahwa Khadijah bersanding dengan Muhamamd saw. di dalam rumahnya. Khadijah berkata, “Apakah engkau melihat Malaikat Jibril? Muhammad menjawab, “Ya”. Maka Khadijah masuk kebilik kamarnya dan bersanding dengan Muhammad seraya membuka tutup kepala dan cadar yang dipakainya. Khadijah kembali bertanya, “Apakah engkau masih melihatnya? Tidak, jawab Muhamamd saw. Khadijah berkomentar, Ia bukanlah setan, ia adalah malaikat wahai putra pamanku. Khadijah yakin dan bersaksi bahwa apa yang dibawa Muhammad saw. adalah kebenaran.

Demikian, kita melihat sikap bijak ummul mukminin, Khadijah ra. Dirinya menjadi dewasa dan matang bersamaan dengan kejadian-kejadian yang dialaminya. Khadijah menjadi mudah menyelesaikan persoalan bersamaan dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Khadijah tidak sekedar menggembirakan dan membela Muhammad saw. berdasarkan dugaan atau kamuflase belaka. Akan tetapi Khadijah mempersembahkan pembelaan dan menyenangkan hati suaminya karena berdasarkan data-data panjang yang ia hadapi selama ini.

Dengan sigap dan penuh cinta, Khadijah mendampingi suaminya menghadapi persoalan hidup. Allahu a’lam.

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/khadijah-mengajarkan-cinta-kepada-kita/

Read Full Post »

Makna Syahadat Muhammad Rasulullah

Ustadz Luqman Jamal, Lc.

PERTANYAAN

Syahadat ini sangat dihafal oleh kaum muslimin. Kalimatnya begitu pendek dan sederhana tetapi terwariskan secara turun temurun. Namun, tidak sedikit yang tidak tahu-menahu tentang kedalaman makna hakiki yang dikandungnya dan konsekuensi yang mesti tertanam dalam lubuk hati pengucapnya. Olehnya itu, bagaimana agama menjelaskannya?

JAWABAN

Syahadat La Ilaha Illallah dan syahadat Muhammad Rasulullah adalah satu rukun yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain, dan keduanya menjadi satu rukun walaupun terdiri dari dua bahagian. Sebab seluruh ibadah dibangun di atas keduanya, maka tidaklah diterima ibadah itu kecuali ikhlas untuk Allah ‘Azza Wa Jalla, dan ini adalah kandungan dari syahadat La Ilaha Illallah, dan ittiba’ ‘mengikuti’ Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , dan ini adalah kandungan dari syahadat Muhammad Rasulullah. Karena itu, mengetahui makna, kandungan dan konsekuensi (keharusan) syahadat Muhammad Rasulullah sangatlah penting sebagaimana syahadat La Ilaha Illallah. Seseorang, kalau mau masuk Islam, harus mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut, kemudian wajib memahami dan mengamalkan kedua syahadat tersebut lahir dan batin, dan wajib mengulangi kedua syahadat tersebut minimal sembilan kali dalam sehari semalam.

Syahadat Muhammad Rasulullah,atau dengan redaksi yang lebih lengkap Muhammad ‘Abdullahi wa Rasuluhu ‘Muhammad adalah hamba Allah dan rasul-Nya’, mempunyai dua dasar pokok yang satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan karena merupakan satu kesatuan.

Pokok pertama , menyamakan kedudukan Muhammad sama dengan semua makhluk di hadapan Allah walaupun derajatnya berbeda.

Pokok kedua , membedakan kedudukan Muhammad dengan mahluk yang lain karena beliau adalah seorang rasul.

Hal ini dapat kita lihat dalam firman Allah Jalla Jalaluhu dalam akhir surah Al-Kahfi,

“Katakan (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya saya hanyalah manusia biasa sepeti kalian yang diberikan wahyu kepadaku bahwasanya sesembahan kalian hanyalah sesembahan yang Esa.’.” [ Al-Kahfi: 110 ]

Kemudian dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit yang diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ…

“Siapa yang bersyahadat bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah semata, tidak ada serikat bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya ….”

Juga dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , ketika mengajarkan tasyahud kepada para shahabatnya, seperti ‘Abdullah bin Mas’ud dalam Shahih Al-Bukhary dan Shahih Muslim , Ibnu ‘Abbas dalam Shahih Muslim , dan Abu Musa Al-Asy’ary dalam Shahih Muslim , terdapat kalimat syahadatain yaitu,

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

“Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.”

Kedudukan Muhammad Sebagai Hamba

Berkata Syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah Alu Syaikh, “Hamba maknanya adalah yang dimiliki, yang menyembah, yaitu dimiliki oleh Allah Ta’ala dan tidak mempunyai sedikit pun sifat-sifat Rububiyah dan Uluhiyah. Sesungguhnya dia (Muhammad) hanyalah seorang hamba yang dekat di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.” Lihat Taisir Al-’Aziz Al-Hamid hal. 81-82.

Jadi, kalau dia seorang hamba (budak), tidak boleh disembah (diibadahi) melainkan harus menyembah, dan kalau dia dimiliki, tidak boleh dimintai sebab syarat untuk dimintai adalah harus memiliki (Al-Malik). Karena itu, dia tidak mampu memberi manfaat atau mudharat, bahkan dia hanya meminta manfaat kepada Allah berupa hidayah, harta, ilmu, dan sebagainya, serta berlindung pada-Nya dari segala kejelekan (mudharat) makhluk-Nya.

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, “Dan keharusan dari syahadat ini adalah tidak boleh diyakini bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam punya hak dalam Rububiyah dan mengatur alam semesta atau punya hak dalam ibadah (hak untuk disembah). Bahkan dia (Rasulullah) seorang hamba, tidak disembah, dan Rasul tidak didustakan dan tidak memiliki sedikit pun kemampuan untuk memberi manfaat ataupun mudharat, baik kepada dirinya ataupun selain dirinya, kecuali apa yang Allah kehendaki sebagaimana firman Allah,

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Saya tidak mengatakan kepada kalian, bahwa di sisi saya perbendaharaan Allah, dan tidak (pula) saya mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) saya mengatakan kepada kalian bahwa saya seorang malaikat. Saya tidaklah mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.’.” [ Al-An’am: 50 ]

Maka dia selaku hamba diperintahkan untuk mengikuti apa-apa yang diperintahkan dengannya. Kemudian firman Allah Ta’ala,

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya saya tidak memiliki bagi kalian mudharat dan tidak pula petunjuk.’.” [Al-Jin: 21]

Juga firman Allah Ta’ala,

قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Saya tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya saya mengetahui yang ghaib, tentulah saya membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan saya tidak akan ditimpa kemudharatan. Saya tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.’.” .”

Lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul hal. 71.

Akan tetapi Allah menjadikan ‘ubudiyah ‘penghambaan’ sebagai sifat kesempurnaan makhluk-Nya dan menjadikan makhluk-Nya sebagai makhluk yang paling dekat kepada-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Al-Masih sekali-sekali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan tidak pula malaikat-malaikat terdekat-Nya. Barangsiapa yang enggan dari menyembah – Nya dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada – Nya.” [ An-Nisa: 172 ]

Juga firman-Nya,

“Dan ingatlah hamba Kami Daud.” [ Shad: 17 ]

Juga firman-Nya,

“Dan ingatlah hamba Kami Ayyub.” [ Shad: 41 ]

Juga firman-Nya,

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub.” [ Shad: 45 ]

Juga firman-Nya,

“Dan Kami telah berikan kepada Daud, Sulaiman sebaik-baik hamba.” [ Shad: 30 ]

Allah menyifatkan makhluk-makhluk-Nya yang paling mulia dan yang paling tinggi kedudukannya di antara makhluk-makhluk-Nya dengan ‘Ubudiyah pada kedudukannya yang paling mulia.

Allah juga menyebutkan sifat ‘Ubudiyah pada kedudukan diturunkannya Al-Kitab kepada hamba-Nya dan menantang untuk mendatangkan sepertinya sebagaimana firman-Nya,

“Dan jika kalian ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami maka datangkanlah satu surah semisalnya.” [ Al-Baqarah: 25 ]

Juga firman-Nya,

“Maha berkah Allah yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya.” [ Al-Furqan: 1 ]

Juga ayat-ayat lain yang semakna.

Allah menyebutkan sifat ‘Ubudiyah dalam kedudukan beribadah pada-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Dan sesungguhnya tatkala hamba Allah berdiri, berdoa kepada-Nya ….” [ Al-Jin: 19 ]

Kemudian Allah menyebutkan hamba-Nya dengan ‘ubudiyah pada kedudukan Isra`,

“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada satu malam.” [ Al-Isra`: 1 ]

Selain itu, Allah menjadikan kabar gembira secara mutlak kepada hamba-hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” [ Az-Zumar: 17-18 ]

Allah juga menjadikan rasa aman secara mutlak bagi hamba-hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Wahai hamba-hamba-Ku, tiada kekhawatiran terhadap kalian pada hari ini dan tidak pula bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan mereka dahulu adalah orang-orang yang berserah diri.” [ Az-Zukhruf: 68-69 ]

Allah tidak memberi keleluasaan kepada syaithan untuk menguasai mereka (hamba-hamba-Nya) secara khusus kecuali yang mengikuti syaithan dan berbuat syirik kepada-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, tidak ada kekuasaan bagi kamu untuk mereka kecuali siapa yang mengikuti kamu dari orang-orang yang sesat.” [ Al-Hijr: 42 ]

Juga firman-Nya,

“Sesungguhnya tidak ada kekuasaan baginya (syaithan) atas orang-orang yang beriman dan mereka bertawakkal kepada Rabb mereka. Sesungguhnya kekuasaannya (syaithan) hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya pemimpin dan orang-orang yang mempersekutukan Allah dengannya.” [ An-Nahl: 99-100 ]

Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menjadikan ihsan ‘ubudiyah sebagai tingkatan paling tinggi dalam beragama, sebagaimana dalam hadits ‘Umar bin Al-Khattab, yang terkenal dengan “hadits Jibril”, yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam ditanya oleh Jibril tentang ihsan, beliau menjawab, “Kamu menyembah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kamu.”

Baca Madarij As-Salikin jilid 1 hal. 115-117.

Akan tetapi, ada satu hal yang sangat penting untuk diketahui, yaitu ‘ubudiyah kepada Allah tidak akan lepas (berhenti) dari seorang hamba selama hamba hidup di dunia, bahkan di alam barzakh dan di hari kemudian, walaupun ‘ubudiyah di dunia tentunya berbeda dengan ubudiyah di alam barzakh apalagi di hari kemudian. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya,

“Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu keyakinan.” [ Al-Hijr: 99 ]

Juga firman-Nya kepada penduduk neraka,

“Dan dahulu kami mendustakan hari kemudian sampai datang kepada kami keyakinan.” [ Al-Muddatstsir: 46-47 ]

Keyakinan yang dimaksud adalah kematian menurut kesepakatan para ulama Ahli Tafsir.

Juga di dalam Shahih Al-Bukhary tentang kisah kematian ‘Utsman bin Mazh’un, Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Adapun ‘Utsman maka sesungguhnya telah datang kepadanya keyakinan dari Rabb-nya, yaitu kematian.”

Barangsiapa yang menyangka bahwasanya dia telah sampai pada kedudukan, yakni telah gugur pada dirinya kewajiban untuk menyembah, maka dia zindiq, kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, sebab sesungguhnya dia telah sampai pada kedudukan kafir kepada Allah dan berlepas diri dari agama ini. Bahkan, seorang hamba, jika kedudukan dia semakin kuat dan kokoh dalam penghambaan, maka ‘ubudiyah-nya juga semakin besar dan kewajiban dari ‘ubudiyah-nya juga semakin banyak dan lebih besar daripada orang yang berada dibawahnya. Oleh karena itu, kewajiban Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , bahkan semua rasul, lebih besar dan lebih banyak daripada umat-umat mereka, kewajiban rasul-rasul Ulul ‘Azmi lebih banyak daripada rasul-rasul selain Ulul ‘Azmi, kewajiban Ahlul ‘Ilmi lebih besar daripada selain Ahlul ‘Ilmi. Hal ini menunjukkan bahwa setiap hamba tergantung pada kedudukannya (martabatnya).

Lihat Madarij As-Salikin jilid 1 hal. 118.

Kedudukan Muhammad Sebagai Rasul (Nabi)

Ahlus Sunnah Wal Jamaah menetapkan bahwasanya kenabian adalah pilihan dari Allah. Allah memilih nabi untuk hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Allah menghususkan nabi-Nya dengan rahmat-Nya, memilih nabi-Nya dengan keutamaan dan nikmat-Nya, dan bukan sekedar sifat-sifat tambahan, karena rahmat, keutamaan, dan nikmat-Nya terhadap nabi-Nya tidak bisa diperoleh dengan ilmu, latihan, banyaknya ibadah dan ketaatan, dan sebagainya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepada kalian dari Rabb kalian. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat (kenabian)-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.” [ Al-Baqarah: 105 ]

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan bahwasanya Dia memilih utusan-utusan dari para malaikat-Nya dan juga dari manusia. Dan إصطفاء ber-wazan إفتعال dari kata تصفية ‘pensucian’ sebagaimana إختيار ber-wazan افتعال dari kata الخيرة ‘pemilihan’, maka Dia mensucikan dan memilih siapa yang Dia inginkan sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-An’am ayat 124,

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.”

Maka Dia lebih tahu siapa yang pantas dijadikan utusan (rasul) dari (kalangan manusia) yang tidak dijadikan-Nya utusan.” Lihat Minhaj As-Sunnah 5/437.

Di tempat yang lain, beliau berkata, “Allah membersihkan/memilih dari malaikat-malaikat sebagai utusan-utusan dan dari manusia. Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia memberikan risalah-Nya, maka Allah menghususkan nabi-Nya dengan sifat-sifat yang membedakan nabi-Nya dengan makhluk lain dalam hal akal dan agama, dan nabi-Nya dipersiapkan untuk dikhususkan dengan keutamaan dan rahmat-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surah Az-Zukhruf ayat 31-32,

“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Al-Qur`an ini tidak diturunkan kepada seorang pembesar (pada salah satu) dari dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu? Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Rabb-mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” . ”

Lihat Minhaj As-Sunnah 2/416. Perhatikan pula firman Allah dalam surah Al-Jin ayat 20-25.

Kedudukan Muhammad sebagai seorang rasul tidak boleh disamakan dengan kedudukan hamba Allah yang lain. Karena itu, sebagian ulama mengatakan bahwa didahulukannya kata عبده ‘hamba-Nya’ daripada kata رسوله ‘rasul-Nya’ dalam kalimat syahadat Muhammad Rasulullah adalah sebagai tanjakan dari bawah ke atas, dan dikumpulkannya kedua kata tersebut (hamba dan Rasul-Nya) adalah untuk menghindari dua kutub yang berbeda: kutub ifrath (ekstrim/berlebih-lebihan)

dan kutub tafrith (menyepelekan), sebagaimana yang telah terjadi pada Isa ‘ alaihis salam , dan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menguatkan makna ini dengan sabdanya dalam hadits ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim,

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ الله وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang Nashara berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam, karena sesungguhnya saya hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.” (Lihat Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid hal. 82)

Orang-orang Nashara melakukan ifrath, berlebih-lebihan dalam memuliakan dan memuji Nabi Isa, dan berbanding terbalik dengan cara orang-orang Yahudi yang melakukan tafrith dalam bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap Nabi Isa.

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Makna syahadat Muhammad Rasulullah adalah menetapkan, (dengan perbuatan) melalui lisan dan (dengan) iman melalui hati, bahwasanya Muhammad bin ‘Abdullah Al-Qurasy Al-Hasyimy adalah utusan Allah ‘Azza wa Jalla kepada seluruh makhluk dari kalangan jin dan manusia, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” [ Adz-Dzariyat: 56 ]

Tidak ada ibadah kepada Allah kecuali dengan perantara wahyu yang Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam telah datang dengan wahyu tersebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur`an) kepada hamba-Nya agar menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” [ Al-Furqan: 1 ].”

Konsekuensi Syahadat Muhammad Rasulullah

Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah, dalam Al-Ushul Ats-Tsalatsah , menetapkan empat perkara yang merupakan konsekuensi (keharusan dan tuntutan) dari makna syahadat Muhammad Rasulullah:

Pertama, menaati Rasulullah pada apa yang beliau perintahkan.

Allah ‘Azza wa Jalla telah menetapkan wajibnya taat kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam di dalam Al-Qur`an dan sunnah, serta menggandengkan antara ketaatan pada-Nya dengan ketaatan kepada Rasul-Nya di dalam banyak ayat, di antaranya,

“Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman.” [ Al-Anfal: 1 ]

Juga di dalam firman-Nya,

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berpaling dari-Nya sedang kalian mendengar (perintah-perintah-Nya).” [ Al-Anfal: 20 ]

Siapa yang durhaka kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada Allah, dan siapa yang durhaka kepada Allah maka tempatnya adalah neraka, sebagaimana firman-Nya,

“Siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang sangat besar.” [ An-Nisa`: 13 ]

Kemudian dalam ayat berikutnya,

“Siapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya dan melampaui batasan-batasan-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka, dia kekal di dalamnya dan baginya adzab yang menghinakan.” [ An-Nisa`: 14 ]

Selain itu, dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim,Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ : مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدَ أَبَى

“Semua ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan. Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah siapakah yang enggan?’ Rasulullah menjawab, ‘Siapa yang menaatiku maka dia masuk surga, dan siapa yang mendurhakaiku maka sesungguhnya dia enggan.’.”

Lalu, dalam hadits Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary, disebutkan,

فَمَنْ أَطَاعَ مُحَمَّداً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَى مُحَمَّداً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ عَصَى اللهَ

“Siapa yang menaati Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam maka sesungguhnya dia telah menaati Allah, dan siapa yang mendurhakai Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam maka sesungguhnya dia telah mendurhakai Allah.”

Kedua, membenarkan apa yang Rasulullah kabarkan/beritakan.

Sesungguhnya apa yang Rasulullah bawa semuanya adalah benar, karena merupakan wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana firman-Nya,

“Dan dia ( Rasulullah) tidak berbicara dari hawa nafsunya, kecuali itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” [ An-Najm: 3-4 ]

Juga Firman Allah ‘Azza wa Jalla,

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” [ Az-Zumar: 33 ]

Kemudian dalam surah lain,

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berfirman, ‘Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami mengakui.’ Allah berfirman, ‘Kalau begitu, saksikanlah, (wahai para nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian.’.” [ Ali ‘Imran: 81 ]

Juga ijma’ para ulama bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam itu ma’shum ‘terjaga’ dari dusta.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah -nya, “Kemudian rasul-rasul yang benar dan dibenarkan.”

Ketiga, menjauhi apa yang Rasulullah larang dan peringatkan, sebagaimana firman Allah Ta’ala ,

“Dan apa yang Rasululah datangkan kepada kalian maka ambillah, dan apa yang dilarang atas kalian darinya maka jauhilah, dan bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.” [ Al-Hasyr: 7 ]

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim,

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْىءٍ فَاجْتَنَبُوْهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Dan jika saya melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan jika saya memerintah kalian kepada sesuatu maka datangkanlah (lakukanlah) sesuai kemampuan kalian.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ary yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim,

إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى قَوْمًا فَقَالَ يَا قَوْمِ إِنِّيْ رَأَيْتُ الْجَيْشَ بِعَيْنَيَّ وَإِنَّيْ أَنَا النَّذِيْرُ الْعُرْيَانُ فَالنَّجَاءَ فَأَطَاعَهُ طَائِفَةٌ مِنْ قَوْمِهِ فَأَدْلَجُوْا فَانْطَلَقُوْا عَلىَ مَهْلِهِمْ فَنَجَوْا وَكَذِبَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ فَأَصْبَحُوْا مَكَانَهُمْ فَصَبَّحَهُمُ الْجَيْشُ فَأَهْلَكَهُمْ وَاجْتَاحَهُمْ فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ أَطَاعَنِيْ فَاتَّبَعَ مَا جِئْتُ بِهِ وَمَثَلُ مَنْ عَصَانِيْ وَكَذَبَ بِمَا جِئْتُ بِهِ مِنَ الْحَقِّ

“Sesungguhnya perumpamaan aku dan perumpumaan apa yang Allah mengutus aku dengannya, seperti seseorang yang mendatangi suatu kaum kemudian berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya saya melihat pasukan dengan kedua mataku dan sesungguhnya saya adalah An-Nadzir Al-‘Uryan ‘pemberi peringatan yang telanjang’,’ maka sekelompok dari kaumnya menaatinya dan bergegas berjalan di malam hari dengan kehati-hatian dan mereka selamat, sementara sekelompok dari mereka mendustakannya, sehingga mereka tetap di tempatnya, maka pasukan itu menyerangnya di waktu Shubuh, lalu menghancurkan dan membinasakannya. Yang demikian itu perumpamaan orang yang menaatiku dan mengikuti apa yang aku didatangkan dengannya, dan perumpamaan orang yang bermaksiat kepadaku dan mendustakan apa yang aku didatangkan dengannya dari kebenaran.”

An-Nadzir Al-‘Uryan adalah perumpamaan yang dipakai oleh orang-orang untuk menunjukkan kebenaran apa yang ia sampaikan.

Keempat, tidak menyembah Allah ‘Azza wa Jalla kecuali dengan apa yang Dia syariatkan, bukan dengan bid’ah, bukan pula dengan hawa nafsu, adat istiadat, kebiasaan, perasaan, atau anggapan-anggapan yang seseorang pandang baik, karena sesungguhnya asal dari ibadah itu adalah syariat. Nanti dikatakan ibadah kalau disyariatkan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Maka siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan Rabb-nya dengan siapa pun dalam peribadahan.” [ Al-Kahfi: 110 ]

Para ulama menafsirkan bahwa amal shalih adalah amal yang sesuai dengan syariat Allah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.” [ Al-Maidah: 3 ]

Ayat ini menunjukkan bahwasanya agama ini telah sempurna dengan tauhid, syariat, akhlak, dan seluruh apa yang dibutuhkan oleh makhluk di muka bumi ini. Itulah nikmat yang paling besar. Al-Qur`an dan petunjuk Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam itulah yang diridhai di sisi Allah. Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama ini, dan mensyariatkan suatu syariat yang tidak disyariatkan oleh Allah dan menjadikan syariat tersebut sebagai jalan selain jalan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , maka sesungguhnya dia telah melecehkan Allah atau kitab-Nya, baik dalam keadaan sadar maupun tidak, karena sesungguhnya Allah telah mengabarkan bahwa Dia telah menyempurnakan agama-Nya. Kebaikan dan nikmat terdapat dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam serta sikap berpegang teguh terhadap Kitabullah dan sunnah tersebut.

Sebagai kesimpulan, berkata Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Maka, dengan ini, kamu mengetahui bahwasanya tidak berhak ibadah itu diperuntukkan. Tidak kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , tidak pula kepada selainnya dari seluruh makhluk. Ibadah itu tidak boleh diperuntukkan kecuali hanya kepada Allah semata.

Dan bahwasanya hak Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam adalah, kamu memberikan kedudukan kepadanya sesuai dengan kedudukan yang Allah berikan/tetapkan padanya, yaitu sebagai hamba-Nya dan Rasul-Nya.” Lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul hal. 72.

Wallahu waliyyut taufik.
DINUKI DARI: http://an-nashihah.com/?p=59

Read Full Post »

Adalah seorang salaf Abu Abdirrahman Hatim bin Alwan, terkenal dengan gelar Al-Asham. Wafat pada tahun 237 H / 751 M, dia termasuk tokoh besar dikhurasan, Beliau merupakan salah seorang murid Syaikh Syaqiq Al-Balkhi (Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim Al-balkhi, wafat pada tahun 149 H / 810 M)
karena kecerdasan dan lisannya yang hikmah sampai sebagian para ulama menggelar beliau sebagai Luqman Al-hakimnya di jaman beliau.

Tibalah suatu hari gurunya bertanya,
“Berapa lama engkau telah berguru kepadaku?”
“Tiga puluh tahun,” jawab Hatim
“Selama itu apa saja yang telah engkau pelajari dariku,” tanya Syaqiq.
“Delapan hal saja.”
“Sia-sia saja umurku bersamamu. Selama ini kau belajar hanya delapan hal,” ujar Syaqiq dengan gusar.
“Syaikh.., memang aku tidak mendapatkan sesuatu selain itu. Aku pun tidak ingin berdusta.”
“Jelaskan yang delapan itu, aku ingin dengar,” pinta sang guru.

Beliaupun berkata:
yang pertama

Aku lihat semua orang mempunyai kekasih. Diapun ingin sehidup semati dengan kekasihnya. Padahal ketika sampai ke kubur, berpisahlah dia dengan kekasihnya. Maka aku pun memilih amal shaleh sebagai kekasihku, karena ia menyertaiku bila aku masuk ke dalam kubur, juga menemaniku ketika menghadapi panggilan Ilahi nanti.
Kedua:

Aku perhatikan firman Allah (An-Nazi’at:40):
وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى
dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).
Allah pun Maha benar. Aku memilih surga. Maka aku berjuang mengendalikan hawa nafsuku.
Ketiga:

Setiap orang memiliki kekayaan. Dia menghargai, menilai, dan memelihara kekayaan itu.
Kemudian aku memperhatikan firman Allah 😦 ( مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ وَمَا عِندَ اللّهِ بَاقٍ))
” Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.”( Surah an Nahl : 96 ).
Oleh sebab itu setiap kali aku memiliki harta yang mempunyai harga dan bernilai, maka segera aku serahkan dan menyimpannya di jalan Allah, agar semoga harta itu akan kekal dan terpelihara disisi-Nya.
Keempat:

Aku melihat semua orang mempunyai nilai yang dikejarnya. Harta, pangkat, kemuliaan, dan keturunan. Semuanya bagiku tidak bernilai. Kemudian aku memperhatikan firman Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُم
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” ( Surah al hujurot: 13 ).
Oleh karena itu aku melakukan sesuatu dengan penuh ketaqwaaan agar aku menjadi orang yang mulia disisi Allah”.
Kelima:

Aku perhatikan orang saling menusuk, saling mengutuk. Semuanya karena dengki. Padahal Allah berfirman:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُم
” Kamilah yang membagi-bagikan penghidupan diantara mereka dalam kehiduapn ini “( Surah Az-Zukhruf : 32 ).
Maka aku tinggalkan dengki. Aku(pun) jauhi pertikaian di antara orang banyak.
Keenam:

Aku memandang kepada makhluk ini, yang ternyata mereka bermusuh-musuhan satu sama lain.Maka aku kembali kepada firman Allah :
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
” Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagi kamu maka perlakukanlah dia sebagai musuh ” ( Surah Fathir : 6 ).
Maka dengan ayat ini, aku memandang bahwa setan itulah musuhku, oleh sebab itu aku meninggalkan permusuhan dan menjadikan syaithan saja satu-satunya musuh bagiku.
Ketujuh:

Aku memandang kepada makhluk ini semua, maka aku melihat masing-masing mereka menghinakan dirinya untuk mencari rizki(mencarinya dengan cara yang diharamkan Alloh). Kemudian aku perhatikan firman Allah :
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا
” Dan tidaklah ada daripada makhluk yang melata di bumi ini kecuali Allah telah menjamin rezekinya ” ( Surah Hud : 6 ).
Maka dengan ayat ini aku menyibukkan diri dalam mengerjakan kewajibanku kepada Allah,dan meninggalkan apa yang tidak Allah tulis(rizki)kan untukku.
Kedelapan:

Aku melihat manusia masing-masing bersandar kepada perniagaannya,perusahaanny
a dan juga ada yang bersandar kepada kesehatannya.Kemudian aku memperhatikan firman Allah :
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
” Barangsiapa yang menyandarkan dirinya(bertawakkal) kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya ” ( surah at Thalaq : 3 ).
Maka aku bertawakkal hanya kepada Allah, karena Aku yakin Alloh akan mencukupkan segala keperluanku.

dinukil dari Mukhtashor Minhajul Qosidin hal:18

Read Full Post »

Hiruk pikuk kehidupan dengan berbagai bentuk aktivitas yang terus bergulir tanpa henti sering melahirkan halangan dan tantangan yang mengantar seorang hamba kepada gundah gulana dan ketidaktenangan hati. Namun bagi seorang mukmin sejati, cahaya Al-Qur’ân dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam adalah penerang jalan menuju kepada kehidupan indah yang senantiasa membuat dadanya lapang dan bercahaya.

Hidup dengan dada yang lapang adalah suatu nikmat yang sangat berharga dan dambaan setiap insan. Renungilah besarnya nikmat ini sehingga Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan Nabi-Nya terhadap karunia tersebut dalam firman-Nya,

“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. Al-Insyirâh :1)

Dan Nabi Musa ‘alaissalâm setelah beliau dimuliakan menjadi seorang rasul, maka awal doa beliau kepada Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ,

“Berkata Musa: “Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku,”…” (QS. Thohâ :25)

Banyak hal dalam tuntunan syari’at kita yang diterangkan sebagai tumpuan-tumpuan berpijak bagi seorang hamba agar senantiasa berhati lapang dan bercahaya.

Berikut ini, beberapa pilar pelapang dada seorang hamba, kami simpulkan dari keterangan Ibnul Qayyim[1]dan selainnya :

1. Memurnikan Tauhid.

Memurnikan peribadatan kepada Allah Taqaddasa Dzikruhu adalah tonggak keselamatan, tujuan dari penciptaan manusia, misi dakwah setiap nabi yang diutus kepada makhluk dan itulah adalah hakikat dari Islam yang bermakna berserah diri, ikhlash dan tunduk kepada-Nya. Maka sangat wajar bila memurnikan tauhid adalah hal yang sangat melapangkan dada dan meneranginya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam Al-Qur’ân Al-Karîm,

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az-Zumar :22)

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. Dan inilah jalan Rabbmu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran.” (QS. Al-An’âm :125-126)

Dan dengan memurnikan ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla manusia akan hidup di bawah teduhan keamanan dan kesejahteraan. Sebagaimana dalam firman-Nya,

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’âm :82)

Dan dalam Tanzil-Nya,

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nûr : 55)

2. Berpegang teguh terhadap Al-Qur’ân dan As-Sunnah.

Allah Jalla wa ‘Alâ menurunkan Al-Qur`ân sebagai rahmat dan kebahagian bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya,

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl : 89)

Dan Allah Ta’âlâ berfirman,

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`ân suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur`ân itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian.” (QS. Al-Isrô` : 82)

Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menyatakan,

لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيْغُ بَعْدِيْ عَنْهَا إِلَّا هَالِكٌ

“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas suatu yang sangat putih, malamnya sama dengan siangnya, tidaklah seorangpun menyimpang darinya setelahku kecuali akan binasa.” [2]

Maka sangatlah lumrah bagi siapa yang berpegang teguh terhadap tuntunan Al-Qur`ân dan As-Sunnah akan senantiasa membuat dadanya lapang dan bersinar penuh petunjuk dan kebahagian tanpa ada kesensaraan. Sebagaimana dalam firman-Nya,

“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thôhâ : 123-124)

“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Qur`ân ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (QS. Thôhâ : 1-3)

3. Berbekal Ilmu Syari’at.

Tatkala seluruh kebaikan bagi manusia tercakup dalam ilmu syari’at maka segala kebahagian dan ketenangan, keberhasilan dan kebahagian manusia sangat bertumpu pada ilmu syari’at. Karena itu Allah Ta’âlâ tidak memerintah Nabi-Nya untuk meminta tambahan nikmat apapun selain dari tambahan ilmu. Allah Ta’âlâ berfirman,

“Dan katakanlah, “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”.” (QS. Thôhâ : 114)

Dan dengan ilmu syari’at itulah diraihnya berbagai derajat keutamaan di dunia dan akhirat. Sebagaimana dalam firman-Nya,

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujâdilah :11)

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Sesungguhnya ilmu itu melapangkan dada dan meluaskannya sehingga ia menjadi lebih luas dari dunia. Dan kejahilan akan mewariskan kesempitan, keterbatasan dan keterkurungan. Kapan ilmu seorang hamba semakin luas maka dadanya akan semakin lapang dan lebih meluas. Namun ini bukanlah pada setiap ilmu, bahkan hanya pada ilmu yang terwarisi dari Ar-Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam yaitu ilmu yang bermanfaat. Orang-orang yang berilmu (merekalah) yang paling lapang dadanya, paling luas hatinya, paling indah akhlaknya dan paling baik kehidupannya.” [3]

4. Kecintaan Kepada Allah.

Salah satu sifat yang wajib dimiliki oleh seorang yang beriman bahwa kecintaannya kepada Allah adalah yang terbesar dan melebihi kecintaannya kepada seluruh makhluk. Allah berfirman,

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah :165)

Kecintaannya kepada Allah tersebut akan mengantar seorang hamba menuju kehidupan yang sangat indah, kelapangan hati dan ketenangan jiwa karena rongga hatinya hanya terpenuhi oleh kecintaan kepada Allah dan ketergantungan kepada-Nya. Wajarlah bila Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءُ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا للهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Tiga (sifat) yang tidaklah terdapat pada seseorang, pasti ia akan mendapatkan kelezatan iman; hendaknya Allah dan Rasul-Nya yang paling ia cintai melebihi selain keduanya, dan ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya melainkan hanya karena Allah, serta ia benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka.” [4]

5. Senantiasa bertaubat.

Menyadari kekurangan, menyesali kesalahan dan bertaubat kepada Yang Maha Mencipta adalah diantara sifat-sifat yang memberikan berbagai keajaiban dalam kehidupan seorang hamba dan sangat menerangi hati serta melapangkan dadanya. Karena itu, sikap senantiasa bertaubat sangat ditekankan dalam tuntunan syari’at Islam yang mulia. Allah menjamin keberuntungan bagi orang-orang yang senatiasa bertaubat,

“Dan bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (Q.S. An-Nûr :31)

Dari doa Nabi Ibrahim ‘alaissalâm untuk mengujudkan keamanan dan kesejahteraan pada negeri Mekkah yang dirintisnya,

“Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan berilah taubat untuk kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah :128)

Dan sangatlah indah kehidupan orang-orang yang bertaubat tatkala sifat mulia mereka itu akan memberikan berbagai keutamaan dan kenikmatan sebagai hamba-hamba yang dicintai oleh Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah :222)

6. Dzikir.

Dzikir adalah penyejuk hati dan penenang jiwa. Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ berfirman,

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan dzikir kepada Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Ra’d :28)

Dengan dzikir seorang hamba akan mendapatkan pengampunan dan pahala yang sangat besar,

“…dan laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. Al-Ahzâb :35)

Dan keberuntungan bagi orang-orang yang banyak berdzikir,

Dan dzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung.” (Q.S. Al-Jumu’ah :10)

Dan sungguh dzikir membuat hati seorang hamba menjadi lapang dan bersinar tanpa ada kerugian seperti yang terjadi pada orang-orang lalai,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari dzikir kepada Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Q.S. Al-Munâfiqûn :9)

7. Berbuat baik kepada Makhluk.

Memberi manfaat kepada makhluk dengan harta, badan, kedudukan dan selainnya dari berbagai bentuk perbuatan baik adalah hal yang sangat melapangkan dada seorang hamba dan meneranginya. Karena itu Allah ‘Azza wa Jalla memerintah dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya Allah menyuruh untuk berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl :90)

Dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةِ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةِ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ

“Sesusngguhnya Allah telah menetapkan untuk berbuat kebajikan terhadap segala sesuatu. Maka apabila kalian membunuh perbaiklah cara membunuhnya, apabila kalian menyembelih perbaiklah cara menyembelihnya dan hendaknya salah seorang dari kalian mempertajam pisaunya dan membuat tenang sembelihannya.” [5]

Dan di akhirat kelak Allah menjanjikan,

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Adz-Dzâriyât :15-16)

Demikian beberapa pilar pelapang dada seorang mukmin. Dan perlu diketahui bahwa segala perkara yang bertentangan dengan apa yang disebutkan di atas pasti akan memberikan kesempitan, kesesakan dan gundah gulana. Karena itu, tidak seorang pun yang lebih sempit hatinya dari pelaku kesyirikan. Dan siapa yang berpaling dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah maka ia akan senantiasa berada dalam berbagai kesengsaraan. Orang yang tidak memiliki ilmu syar’iy akan jauh dari makna ketenangan. Hati yang tergantung kepada selain Allah akan merasakan berbagai kepedihan dan kepahitan. Dan hati yang lalai dari dzikir kepada Allah bagaikan ikan yang dipisahkan dari air. Dan jeleknya hubungan dengan makhluk lain akan melahirkan berbagai problem dalam kehidupan. Dan demikianlah seterusnya.

Tentunya banyak tuntunan pelapang dada yang belum bisa diuraikan disini. Namun kami berharap keterangan-keterangan di atas bisa menjadi pencerahan dan penyenjuk bagi setiap muslim dan muslim dalam mempersiapkan bekal untuk menyonsong kehidupan kekal abadi di akhirat kelak. Waffaqallâhu Al-Jamî’ li mâ yuhibbihu wa yardhâhu.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى عَبْدِهِ وَرَسُوْلِهِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ.

[1] Dalam kitabnya Zâdul Ma’âd 2/22-26, cet. Ke-3 dari Mu`assah Ar-Risalah

[2] Diriwayatkan oleh Ahmad 4/126, Ibnu Mâjah no. 5, 43, Ibnu Abi ‘Ashim no. 48-49 dan Al-Hâkim 1/96 dari hadits Abu Dardâ` radhiyallâhu ‘anhu. Dan dishohihkan oleh Al-Albâny dalam Zhilâlul Jannah 1/27.

[3] Zâdul Ma’âd 2/23

[4] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu.

[5] Hadits Syaddâd bin Aus radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim.
Ust. Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi
sumber: http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=PenyejukHati&article=83

Read Full Post »